Headlines News :
Home » , » Makna Hari Raya Tumpek bagi umat Hindu

Makna Hari Raya Tumpek bagi umat Hindu

Written By Mangku on Sabtu, 05 November 2011 | 21.25

Istilah Kata Tumpek
Tumpek, berasal dari dua kata bahasa Kawi: Tu = keluar/ selesai; Pek = pendek/ akhir. Jadi Tupek kemudian menjadi Tumpek artinya adalah hari yang selesai/ berakhir ‘semuanya’. Dalam hal ini:
·       akhir Pancawara
·       akhir Saptawara
·       akhir Wuku
ketiganya bertemu pada satu hari/ tanggal. Maka dalam sistim kalender Bali ada 6 hari Tumpek, yaitu:
1.    Tumpek Landep
2.    Tumpek Wariga
3.    Tumpek Kuningan
4.    Tumpek Krulut
5.    Tumpek Uye
6.    Tumpek Wayang

1.      Asal – usul Tumpek Wayang

      Tumpek Wayang berasal dari dua kata yaitu “Tumpek” dan “Wayang”. istilah Tumpek lahir saat bertemunya hitungan terakhir dari dua wewaran yaitu “Saniscara” (Akhir Sapta Wara) dan “Kliwon” (akhir dari Panca Wara). Setiap pertemuan saniscara dan Kliwon disebutlah “Tumpek” (“tu” berarti metu atau lahir dan “Pek” berate putus/berakhir). Sedangkan kata “wayang” selain merupakan bagian dari “wuku” juga mengandung arti sebagai “bayang” atau “bayang-bayang”

Sementara itu kalau dikaji secara filosofis-ritual pelaksanaan upacara “Tumpek Wayang” itu ditujukan kehadapan Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai Dewa Iswara dengan permohonan berupa keselamatan dan atau kerahayuan umat. Dalam prakteknya, upacara Tumpek Wayang ini diperuntukkan bagi semua jenis “reringgitan” seperti wayang, termasuk juga arca, tetabuhan (gong, gender,gambang, genta gendongan).

2.      Mitologi / Cerita latar belakang Tumpek Wayang
Dalam mitologi, diuraikan dalam Lontar Kala Tattwa bahwa pada wuku wayang sebaiknya tidak ada kelahiran manusia, karena di hari Tumpek Wayang adalah kelahiran Bhatara Kala (putra Bhatara Siwa). Manusia jangan ‘memada-mada’ (menyamai) Bhatara Kala.
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orang tuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".
Hipotesis yang menguatkan tentang latar belakang upacara nyapuh leger dengan media wayang kulit pada Tumpek Wayang adalah data sastra dalam naskah lontar. Salah satunya lontar Kala Purana berbunyi: ''... Muwah binuru sang Pancakumara; katekang ratri masa ning tengah wengi. Hana dalang angwayang, nemoning tumpek wayang, sang anama Mpu Leger. Sampun angrepakena wayang, saha juru redep/ gender/nya, wus pada tinabeh, merdu swaranya, manis arum....''.
Artinya, setelah dikejar sang Pancakumara oleh Dewa Kala, sampai menjelang tengah malam ada seorang pria/dalang bernama Mpu Leger mempertunjukkan wayang pada waktu Tumpek Wayang. Setelah menghadap di depan kelir segera juru gender membunyikan gamelannya, suaranya merdu dan nyaring....
Dalam Lontar Jyotisha, disebutkan bahwa posisi benda-benda angkasa (matahari, bulan, bintang) mempengaruhi perilaku manusia.
Di saat Wuku Wayang, posisi benda angkasa itu tidak baik, dan berpengaruh kurang baik pula pada bayi yang lahir di saat itu.


3.      Kajian Upacara
UPAKARA
Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang, khususnya Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil wawancara (baca: Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan bahwa untuk upacaranya sebagi berikut :
1.      Umum.
 Untuk upakara dimaksud adalah dihaturkan kehadapan-Nya bagi sang maweton secara  keseluruhan antaranya :
1.         Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang ).
2.         Ring Sor Surya : Caru mancasata
3.         Banten Panebasan san Maweton :
4.         Banten arepan Kelir :
5.         Ring Lalujuh Kelir
6.         Banten Sang Dalang Mpu Leger : Bebangkit Asoroh
7.         Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala
8.         Tebasan Sungsang Sumbel
9.         Tebasan Sapuh Leger :
10.     Tebasan Tadah Kala :
11.     Tebasan Penolak Bhaya :
12.     Tebasan Pangenteg Bayu :
13.     Tebasan Pengalang Hati :
14.     Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan :
15.     Daksina Panebusan Bhaya :
16.     Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar,gumpang injin,gumpang ketan,gumpang padi , rambut Ida Pandita lan menyan,
dengan upakara suci pejati lan segehan panca warna ditempatkan di pane . semua proses ini dilakukan didepan angkul angkul baru dilanjut kan dengan pelukatan secara bersama sama ring pemedal lebuh..

Tirta pemuput  : 
1.      Tirta Kelebutan
2.      Tirta Campuan
3.      Tirta Segara
4.      Tirta Melanting
5.      Tirta Pancuran
6.      Tirta Tukad Teben Seme/Setra
7.      Tirta Padmasari ring Sekrtariat
8.      Tirta Merajan soang soang
9.      Tirta Pengelukatan Wayang
10.  Tirta Jagat Nata   
11.  Tirta Pemuput/ Sulinggih

2.      Khusus.
Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa : Suci pejati, Praspengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran, sesayut pengenteg bayu,merta utama, pageh urip dan disurya munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan kelahiran ; :
1.         Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma
2.         Wetu Soma : Sesayut Nila Kusuma  Jati / Citarengga
3.         Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma / Carukusuma
4.         Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati / Purnasuka
5.         Wetu Wraspati : Sesayut Pawal Kusuma Jati / Gandha Kusumajati
6.         Sesayut sang wetu Sukra: SESAYUT RAJA KUSUMA JATI / WILET JAYA RAJA DIRA
7.         Sesayut sang wetu Sukra: SESAYUT RAJA KUSUMA JATI/WILET JAYA RAJA DIRA:
8.         Wetu Saniscara : Sesayut Gni Bang Kusuma Jati / Kusuma Gandha Kusuma

4.      Kajian Tatwa dari Upacara Tumpek Wayang
Sapuh Leger
Kata Sepuh Leger berasal dari kata Sepuh dan Leger yang artinya pembersihan dari kekotoran dan masyarakat lakon ini ditampilkan melalui pertunjukkan wayang, secara keseluruhan “ Wayang Sapuh Leger adalah drama ritual dengan sarana pertunjukkan  wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seorang akibat tercemar atau kotor secara rohani. 
 Di masyarakat berkembang adanya suatu pertanyaan sekaligus pendapat tentang hal itu, yaitu yang benar dan patut tentang “dalang brahman atau brahmana dalang”. untuk hal itu, disamping sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Bhatara Kawitan dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan juga sebagai pelaksanaan bhakti sosial kehadapan umat hindu juga untuk memberikan pemahaman kehadapan umat hindu tentang pelaksanaan upacara Sapuh Leger baik dari segi tata laksana proses dan yang berhak dan berkewenangan untuk “muput”.
 Sesuai dengan apa yang disebutkan di depan tentang pemberian suatu pemahaman perihal pelaksanaan upacara Sapuh Leger, pada kesempatan ini disampaikan beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang Amengku Dalang (Dalang Mpu Leger) yang berkewenangan sebagai pemuput dan dibantu oleh yang lainnya, adalah sebagai berikut :
1.      Dalang seharusnya seorang Dalang Brahmana yaitu seorang Pandita sebagai Dalang dan atau yang berlatar belakang dalang yang disebut Ida Mpu Leger.
2.      Beliau adalah seorang Mpu Leger yang mampu dan paham serta menguasai Ketattwaning / Dharma Pewayangan.
3.      Beliau juga tahu dan paham serta menguasai mantram pengelukatan seperti : Agni Nglayang, Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Leger serta mantram pengelukatan lainnya.
4.      Beliau memang benar-benar mampu dan menguasai Gagelaran sebagai seorang Pandita (Mpu Leger) dan dalam segala tindak tanduk dan tingkah laku tiada terlepas dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya sebagai Sang Satya  Wadi, Sang Apta, Sang Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa (siwa-sadha siwa-parama siwa).
Beberapa tattwa atau filsafat yang dipakai rujukan pada pelaksanaan Upacara Bebayuhan Sapuh Leger ini salah satunya  rujukan dari ;
1.    Lontar Kala Purana ( Pusdok Denpasar lembaran 1 s/d 89).
2.    Lelampahan Wayang Sapuh Leger (K 2244) 1 s/d 100 dan bebantenannya.
3.    Kidung Sapuh Leger (645).
4.    Pedoman Pelaksanaan Bebayuhan Sapuh Leger  Oleh Ida Bgs Puja  
5.    Warespati Tatwa lan Bebayuhan Oton
6.    Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger MGPSSR Kecamatan Gianyar 2010
7.    Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali Oleh I Dewa Ketut Wicaksana.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Sponsor

Dragon Nest BarongNET

Followers

Kotak Pesan

Klik Sponsor Donk!!

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Sekala Niskala™ - All Rights Reserved